Jangan Berlalu, Cinta - Cerpen Musim Panas-ku 2021
Roti.
iya, Roti.
“Umma..? apa
Umma sudah belikan tepung?” tanyaku begitu antusias.
“Putriku sayang,, itu,, dia ada disamping kirimu” senyum Umma sambil menahan
sedikit tawa.
Aku menepuk
jidat sambil menarik sehelai rambut yang terjatuh.
Ku adon lagi sampai tepung-tepung roti menjadi adonan yang wangi berbentuk
sedikit pipih.
“Haduh
putriku,, Kamu ini sudah terlalu rindu.
Berbahagialah, suamimu sore ini akan tiba. Dekaat sekali jaraknya” ledek Umma
sambil menyolek pipiku dengan adonan roti dan sedikit tertawa lagi.
“Ummaa”
rengekku sambil bermanja.
“Iyaa,, Umma kan bisa membaca isi hati dan akalmu,Nak” goda Umma.
“Nanti Fathia harus bagaimana Umma? Sedangkan Fathia tak bertemu Alwi dan
sebatas melihat di dalam gambar.” khawatirku.
“InsyaAllaah,,
Umma yakin putri Umma bisa menjadi istri yang terbaik dan menjadi istri yang
ceria. Istrri yang selalu dalam keredha-an Allah Azza wa Jalla ”doa Umma sambil memelukku.
“Umma yakin,
Fathia menjadi wanita yang paling bahagia. Karna pilihan Buya adalah pilihan terbaik”
senyum Umma sambil merapikan rambut depanku.
”Umma,,aku pagi ini belum mandi” adu-ku sambil menggoda Umma.
“Astagfirullah anakku.. pantesan dari tadi bau acem hihihi”
Dikamar aku
melihat wajahku dicermin. Memilih pakaian, berdandan, lalu membuka laci dengan
secumpuk surat dari Alwi.
Aku menahan
tawa. Isinya terdapat kata-kata seribu gombalan.
kubaca lagi dengan cinta. Yang kutemukan hanya-lah Alwi.
Aku jadi
benar-benar rindu.
“Ya Saaiq,
berapa jam lagi kita akan sampai?” tanya
‘Alwi sambil melihat-lihat padang pasir nan beredebu.
“InsyaAllah kita akan sampai di Kota Shibam,, sebelas jam lagi, Sayyid” jawab
pengemudi mobil.
“Bolehlah.. kita parkirkan mobil, cari warung, InsyaAllah kita dapat mengisi
perut dan minum secukupnya dikampung terakhir”
Aku menunggu
Alwi di ruang tamu bersama Umma.
sambil menunggu sore, aku menyiapkan Syai Akhdar ( teh hijau khas Hadromaut
), rogif, sambal, Dajjaj, Selada, dan
buah-buahan di atas karpet hijau.
beberapa waktu kemudian, Buya datang.
“Assalamualaikum”
“Waalaikum salam”
Umma dan aku menyambut Buya dengan senyum dan pelukan.
Buya kuantar duduk dikursi dan Umma bergegas kedapur menyiapkan makan siang
Buya dengan cekatan.
“Buya,?” tanyaku sambil memeluk lututnya.
“Marhaba Putriku?” Buya tersenyum.
“Apakah Buya pernah memberi gambar Fathia ke Alwi?”
Buya terkekeh-kekeh, “Tentu belum Anakku.. “
Fathia
terdiam sejenak lalu memikirkan.
“Buya, apakah nanti Alwi akan berdebar-debar seperti yang Fathia rasakan?”
tanyanya penasaran
“Tentu anakku., Sejak Buya akad-kan lima bulan yang lalu di Oman, , mendengar
namamu saja dia sudah berdebar-debar”
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku
menikmati awan dari sudut jendela sambil menggenggam surat dan tertidur diatas
kursi setengah sadar.
Tok tok
tok
Assalamualaikum!!
Tok tok tok
Assalamualikum!...
Seseorang di balik pintu mengetuk tak
tenang. Aku yang berada didalam kamar sesegera mungkin menuju pintu rumah meski
sedikit-sedikit takut dan berdebar-debar.
Namun Buya
lebih dulu membuka pintu dan menbalas salam,sedangkan aku terlambat untuk
membukanya.
“Syekh,
tolong aku Syekh.. toloong….”
“Astaghfirullah….” Buya menutup darah yang mengalir dari dada laki-laki yang
merupakan menantunya, Alwi.
Tanpa banyak kata beliau langsung menggotong ke mobil dan aku bercepat-cepat
mencari jibabku dan berlari menuju pintu luar.
“Astaghfriullah.. darah!!... banyak darah!!...”
aku menghindarinya dan berlari menuju bagasi mobil. Ternyata Buya sudah
mengunci semua pintu dan memijak pedal gas dengan cepat lalu meniggalkanku
tanpa kata.
“Buyaa!!” teriakku dari belakang mobilnya yang melaju kecepat tinggi.
Aku berlari
menuju pagar dan berteriak lagi.
“Abuyaaaa!!”
Umma
terduduk didepan pintu sambil melihat tas yang berlumurkan darah lalu
memberikannya kepadaku.
“Umma, itu
siapa Umma?” tanyaku dengan takut dan cemas.
Umma memelukku dan aku menagis sejadi-jadinya.
“Ummaaaaaaaaaa….”
Di RS.
Rayyaan, Alwi terbaring tak sadarkan diri.
didadanya banyak jahitan untuk menutup luka dan sobekan pisau yang tak
beraturan, dalam , dan menyakitkan.
Tranfusi darah berkali-kali dilakukan dokter agar menantu Syekh dapat bangun
dari komanya.
“Dok, apa saya sudah diizinkan masuk ke ruangan?” tanya Syekh cemas-cemas harap
saat dokter berjalan dikoridor.
“ Maaf Syekh, pasien ini harus kami bawa ke ruang oprasi setelah tiga jam
mendatang” jawab dokter sambil melingkari stetoskop di lehernya.
“Tolong Dok, beri satu kesempatan bertemu Alwi sebelum dilaksanakannya
pembedahan”
----------------------------------------------------------------------
Aku
merasakan kakiku tak menapak bumi
Kepalaku kosong dan mataku gabur karna airmata benar-benar memenuhi pelupuk.
Buya menggandengku yang terlihat lemah menuju ruangan Alwi,..
Rasanya masih tak mungkin.
Masih tak bisa diterima akalku
Kreeeek…
Assalamualaikum warohmatullah…
Tak ada jawaban kecuali alat-alat medis yang berbunyi, berkerja, dan ruangan
yang senyap.
Aku tertunduk dalam.
Kepalaku turun semakin dalam.
Ya Allaah..
Buya memelukku dan menghapus air mata yang berkali-kali jatuh menghantam
lantai.
“Sekarang, sambutlah suamimu. InsyaAllah ia akan terbangun” ucap Buya
meyakinkan.
aku masih tertunduk dan menahan airmata sembari menahan tangis yang begitu kencang.
“Assalamualaikum Alwi, suamiku” sapaku.sambil mencium tangan Alwi penuh ta’dzim.
Ku bawa tanganku mengitari sudut-sudut wajah Alwi sambil tersenyum tulus
meskipum mataku berlinang, penuh air mata.
“Alwi,,,Aku Fathia, istrimu”
“Sadaralah sayang, aku ingin engkau melihatku”Tiba-tiba
jemari Alwi bergerak mendapati tangan
istrinya meskipun belum berkata-kata.
“Faaaath..”
“Fathi-iiiya” ucap Alwi sedikit demi sedikit sambil tersenyum dengan mata yang
lemah.
aku menutup bibirku yang hampir menangis lalu mencium tangannya lagi.
“Fathiaa,,.. Ke-ka-sihku..”
“ ke-mar-ilaah”
Aku sesegera mungkin menuju air mukanya secara dekat lalu matanya terbuka pelan
dan sayu.
Alwi tersenyum seutas dan melihat wajahku penuh tangis.
Ia masih
tersenyum melihat wajahku.
terus tersenyum
dan masih tersenyum
dan aku membalasnya dengan tawa
“In-dah. Sennyummu,, sang-at indah”
Aku tertawa lagi. Buya meninggalkan kami berdua didalam ruangan lalu menutup
pintu sambil menjaganya dari luar. Buya sebelumya terlihat menangis hingga ia
menutupi wajahnya dengan kain bajunya.
“Fathia, mendekat-lah lagi.”
aku menuju wajahnya semakin dekat.
Alwi segera mengarah dan mencium keningku dengan air mata disudut-sudut pelupuknya.
ia mencium keningku lama sampai kurasa air matanya terjatuh.
Alwi menyentuh pipiku sambil memulai tuk bicara.
aku hanya mendapati bola matanya yang sayu, senyumnya yang tulus, dan
sudut-sudut mata yang teraliri.
“Sayangku,
berprasangka baiklah pada Allah yang Maha Penyayang. Dengan se-izin Allah,
dengan Kuasa Allah, semoga kita dapat dipersatukan” senyum Alwi.
“Bicaralah,
ungkapkan semua yang ada didalam hatimu” pinta Alwi sambil menggenggam
tanganku.
Aku berusaha untuk berbicara dengan senyum dan airmata.
Alwi menungguku dan aku pun memejamkan mata sembari memegang erat tangannya.
“Sayang, aku akan berprasangka baik pada Allah. Ialah sebaik-baikknya pengatur
dan sebaik-baiknya Tuhan yang patut disembah. Takkan pernah ku tolak takdir
melainkan hatiku harus mengimani dan menerima dengan redha”
Alwi
menyimak sambil menatap mataku dan tersenyum.
Terlihat setelah itu Alwi memejamkan matanya lama lalu membuka lagi.
“Alwi,
bolehkan aku tau siapa yang melukaimu?” tanyaku
“Yang melukaiku adalah kawanan begal yang ada dikampung Sittiin. Mereka mengejarku,
merampok dan menculik supir mobil yang ku sewa”
“Namun biarlah. Semoga Allah membukakan hati mereka dan menerima taubat mereka”
Aaaaaaaaaaaghh…
Allaaaah
Allaaaaaah…
Alwi
mengerang kesakitan dan terus memegang dadanya.
aku panik, jantungkku berdetak sangat keras dan aku memukul bel panggilan
darurat dan Buya ikut berlari menuju arahku dan Alwi.
Allaaaaaaaaaaaaaaah…
Allaaaaaaah…
Alwi
mengeraskan regangannya dan menggoncangkan tubuhnya seperti kehilangan nafas.
Dadanya
melambung keatas
Nafasnya tak teratur
Airmatanya mengucur deras
Aku
menggenggam tangannya.berusaha membuatnya bertahan.
Kawanan suster datang bersama dokter Ahli Bedah dan membawa peralatan medis dan
alat-alat berat.
Namun Buya menahan dengan tangan kanannya agar mereka tetap berada dijangkauan
tanpa mendekat dan dokter mundur bersama yang lainnya.
Buya memegang dada dan menopang kepalanya sambil membacakan kalimat tauhid.
Lalu menghapus airmata
Alwi yang mengalir pelan.
“Nak, ikuti
dan bacalah”
“Laaa ilaha illa Allaaah..” ajak Buya
menuntun Alwi untuk melafadzkan-nya.
“Laaaaa ilaha… illlaaa Allaaah”
.
.
.
“Muhammad Rosulullaaaaaaaaaaaah”
“Muhammad Rosulull-aa..h”
.
.
Niiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiidtttttttttttttttt….
“Alwiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii…”